Laman

transformer

transformer

Rabu, 03 November 2010

Gantian Raksasa Utara yang Mengancam …

Gantian Raksasa Utara yang Mengancam …

Gunung Merapi dikenal sebagai salah satu gunung paling aktif di dunia. Tiap 2-4 tahun, gunung di Jawa Tengah ini selalu mengulangi siklusnya. Bagi masyarakat Yogyakarta secara khusus, letak Pantai Parangtritis, Keraton Jogja, dan Gunung Merapi merupakan tiga titik yang terhubung secara mistis, menunjukkan keterkaitan kekuasaan. Bencana gempa Jogja 27 Mei 2006 dianggap merupakan tanda perubahan konstelasi kekuasaan yang menyangkut tiga kekuatan ini. Tulisan ini melanjutkan tulisan dua tulisan sebelumnya: Kaki Kena Paku Dibuatkan Sambal Terasi, dan Abis gempa, masih dibutuhkan korban 5.000 orang lagi … Mengapa begitu?
***
Lengkap sudah penderitaan masyarakat Jogja di paruh pertama tahun 2006 ini. Ketika orang ramai-ramai memfokuskan perhatian ke Gunung Merapi di utara, justru bencana datang dari selatan. Sejauh ini, kata seorang tetangga anggota Polri, pihak pemerintah telah menempatkan lebih dari 65% personel Polri untuk mengantisipasi kemungkinan letusan gunung paling aktif di dunia ini. Begitu memasuki minggu kedua sesudah bencana gempa, kerak bumi bagian selatan sudah mulai stabil. Namun, justru pada waktu-waktu inilah Merapi kembali terbangun dan menggelegak penuh amarah. Uniknya, hari-hari menjelang bencana gempa, Merapi menunjukkan penurunan aktivitasnya. Banyak ahli menyatakan bahwa pergeseran lempeng bumi yang terwujud dalam gempa tersebut kemungkinan besar mempengaruhi struktur vulkanik di dalam perut bumi di sekitar Merapi. Pada detik sekitar gempa terjadi itu pula, leleran lava pijar khas Merapi mencapai jarak yang cukup jauh – diduga sampai empat kilometer.
Setelah hampir sebulan para warga di sekitar gunung Merapi mengungsi, mereka akhirnya tidak kuat menahan diri untuk pulang. Alasannya sederhana. Selama di penampungan, tidak ada hal lain yang diperbuat, kecuali duduk dan menunggu jatah makan. Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi tampil begitu polos menyikapi kondisi seperti ini. Jika pemerintah memang menghendaki para warga di sekitar Merapi turun ke tempat penampungan, pemerintah harus konsisten dengan program ini. Konsisten dalam pengertian: memberi dukungan finansial yang memadai. Dan benar, dukungan finansial disinyalir sangat memadai. Namun, sekali lagi, seperti kata pepatah talang iku mesti teles, tetesan dana program pengungsian itu justru habis untuk membasahi jalan airnya.
Banyak warga pengungsian pun dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah. Apa yang bisa diharapkan dari situasi menganggur? Selama beberapa minggu! Sementara anak-anak yang ke sekolah pun harus dibekali dengan uang saku. Maka, begitu melihat Merapi tampak meluruh, warga ramai-ramai kembali ke rumahnya masing-masing. Namun, baru satu atau dua hari kembali, para penduduk harus menerima kenyataan bahwa Merapi menggelegak lagi. Bahkan jauh lebih besar dan makin membahayakan. Bersamaan dengan hentakan dan goyangan bumi dari selatan, Merapi pun seperti singa yang dibangunkan dari tidurnya. Merapi mulai lebih beringas, dengan leleran laya pijar yang makin panjang. Delapan hari sesudah peristiwa gempa terjadi, sirine di pos Kaliurang terdengar meraung-raung. Sontak, masyarakat sekitar disadarkan oleh bahaya Merapi yang juga tidak kalah mengerikan. Pengamatan secara visual dari pos Kaliurang tidak mampu menembus tebalnya awan panas di puncak Merapi. Juga kabut tebal yang ada di sana. Selain itu, yang lebih parah lagi, arah guguran lava pijar sudah menuju tempat-tempat yang tidak diprediksi lagi. Sementara tercatat di kubah lava, tertumpuk materi setinggi 120 meter dengan diameter 260 meter. Bisa dibayangkan bila kubah itu runtuh dan menutupi jalannya lava pijar keluar … apakah ada bencana yang lebih besar lagi dibandingkan dengan gempa yang telah merenggut lebih dari 5.000 orang delapan hari sebelumnya?
Sampai hari ke delapan pasca gempa, tercatat bahwa lokasi yang disebut sebagai Geger Boyodi bagian puncak Merapi telah runtuh. Kubah hasil erupsi selama proses lima tahun (1906-1911) tersebut rebah oleh proses deformasi. Banyak pihak yang mengatakan bahwa Merapi sedang hamil [meteng]. Ini merupakan kondisi yang sudah cukup lama terbentuk. Liburan Paskah (April 2006) lalu kami sempat mengunjungi seorang kerabat di wilayah Tawangrejo, dekat rumah makan Boyong Kalegan di daerah Pakem ke barat. Lik Ngadiran, tokoh masyarakat yang cukup dituakan di kampung tersebut – yang juga anggota team SAR dari wilayah tersebut, menjelaskan seperti apa bentuk kehamilan Merapi itu. Di sisi barat, Geger Boyo telah melesak keluar sepanjang 90 centian. Si sisi timur, sudah lebih dari tiga meter. Di bagian atas juga sudah satu meteran. Di bawah lebih dari satu meteran. Tentu angka-angka tersebut lebih sebagai gambaran deskriptif plus prediktif. Bisa dibayangkan, siapa yang mau, berani, dan rela datang ke puncak gunung yang sedang menganga lebar berwarna merah itu dan mengukur besarnya kehamilannya? Bila kehamilan Merapi tersebut sudah terdeteksi sejak awal April 2006, sampai sekarang berarti sudah lebih dari dua bulan … dan tidak terlalu lama memang rupanya kehamilan tersebut untuk menunggu proses kelahirannya. Karena seperti yang diberitakanKompas, keruntuhan Geger Boyo tersebut sudah terjadi (5 Juni 2006).
Ketika jarum jam menunjukkan angka 01.45 pagi ini, hati sempat teriris ketika bunyi krek-kretek-krek-kretek bangunan sempat terdengar. Geliat kerak bumi di bagian selatan memang belum sepenuhnya reda … sementara jari-jemari tangan ini terasa lunglai dibuatnya.Kita tidak akan pernah tahu tentang apa yang akan terjadi. Jogja yang berslogan Berhati Nyaman sekarang mesti menyimpan slogan ini dalam-dalam. Berbagai kejadian akhir-akhir ini sama sekali tidak membuat rasa nyaman itu hadir … apakah karena memang pamor sultan yang sudah luntur? Banyak yang mengatakan demikian, meski masih sembunyi-sembunyi …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar